Entri Populer

Selasa, 31 Mei 2011

eliminasi fekal

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa bowel (feses). Pengeluaran feses yang sering, dalam jumlah besar dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan rendahnya insiden kanker kolorektal (Robinson & Weigley, 1989). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas toilet yang normal ; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawata harus mengerti proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal dan system tubuh lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Pencernaan normal dan eliminasi ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi eliminasi ?
3. Apa saja masalah defekasi yang umum ?
4. Apa itu diversi usus ?
5. Bagaimana proses keperawatan dan eliminasi fekal ?


C. TUJUAN
1. Mengetahui pencernaan normal dan eliminasi.
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi eliminasi.
3. Mengetahui masalah defekasi yang umum.
4. Mengetahui diversi usus.
5. Mengetahui proses keperawatan dan eliminasi fekal.


























BAB II
PEMBAHASAN

A. PENCERNAAN NORMAL DAN ELIMINASI
Saluran gastrointestiral ( GI ) merupakan serangkaian organ muscular berongga yang dilapisi oleh membrane mukosa ( selaput lendir ). Tujuan kerja organ ini ialah mengabsorpsi cairan dan nutrisi, menyiapkan makanan untuk diabsorpsi dan digunakan oleh sel – sel tubuh, serta menyediakan tempat penyimpanan fese sementara. Fungsi utama system GI adalah membuat keseimbangan cairan. GI juga menerima banyak sekresi dari organ – organ, seperti kandung empedu dan pancreas. Setiap kondisi yang secara serius mengganggu absorpsi atau sekresi normal cairan GI, dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan.
Organ – organ saluran gastrointestinal :
Anatomi fisiologi saluran pencernaan terdiri dari :
1. Mulut
Saluran GI secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi ke ukuran dan bentuk yang sesuai. Semua organ pencernaan bekerja sama untuk memastikan bahwa masa atau bolus makanan mencapai daerah absorpsi nutrisi dengan aman dan efektif. Gigi mengunyah makanan, memecahkan menjadi berukuran yang dapat di telan. Sekresi saliva mengandung enzim, seperti ptyalin, yang mengawali pencernaan unsure – unsure makanan tertentu. Saliva mencairkan dan melunakkan bolus makanan di dalam mulut sehingga lebih mudah ditelan.

2. Esophagus
Begitu makanan memasuki bagian atas esophagus, makanan berjalan melalui otot sirkular, yang mencegah udara memasuki esophagus dan makanan mengalami refluks ( bergerak ke belakang ) kembali ke tenggorokan. Bolus makanan menelusuri esophagus yang panjangnya kira – kira 25 cm. makanan didorong oleh gerakan peristaltic lambat yang dihasilkan oleh kontraksi involunter dan relaksasi otot halus secara bergantian. Pada saat bagian esophagus berkontraksi di atas bolus makanan, otot sirkular di bawah ( atau di depan ) bolus berelaksasi. Kontraksi – kontraksi otot halus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju gelombang berikutnya.
Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esophagus dan mencapai sfingter esophagus bagian bawah. Sfingter esophagus bagian bawah terletak di antara esophagus dan lambung. Factor – factor yang mempengaruhi tekanan sfingter esophagus bagian bawah meliputi antacid, yang meminimalkan refluks, dan nikotin serta makanan berlemak, yang meningkatkan refluks.

3. Lambung
Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan secara mekanis dan kimiawi dipecahkan untuk dicerna dan diabsorpsi. Lambung menyekresi asam hidroklorida ( HCL ), lendir, enzim pepsin, dan factor intrinsic. Konsentrasi HCL mempengaruhi keasaman lambung dan keseimbangan asam – basa tubuh. HCL membantu mencampur dan memecahkan makanan di lambung. Lendir melindungi mukosa lambung dari keasaman dan aktivitasenzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak banyak pencernaan yang berlangsung di lambung. Factor intrinsik adalah komponen penting yang dibutuhkan untuk absopsi viatamin B12 di dalam usus dan selanjutnya untuk pembentukan sel darah merah normal. Kekurangan factor intrinsic ini mengakibatkan anemia dan pernisiosa.
Sebelum makan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi semicair yang disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorpsi daripada makanan padat. Klien yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki pengosongan lambung yang cepat ( seperti pada gastritis ) dapat mengalami masalah pencernaan yang serius karena makanan tidak dipecah menjadi kimus.

4. Usus Halus
Selama proses pencernaan normal. Kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus. Usus halus merupakan sebuah saluran dengan diameter sekitar 2.5 cm dan panjang 6 m. Usus halus dibagi mkenjadi 3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum. Kimus bercampur dengan enzim – enzim pencernaan ( missal : empedu dan amylase ) saat berjalan memalui usus halus. Segmentasi ( kontrasi dan relaksasi otot halus secara bergantian ) mengaduk kimus, memecahkan makanan lebih lanjut untuk dicerna. Pada saat kimus bercampur, gerakan peristaltic berikutnya sementara berhenti sehingga memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan perlahan melalui usus halus untuk memungkinkan absorpsi.
Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorbsi di dalam usus halus. Enzim dari pancreas ( missal : amylase ) dan empedu dari kandungan empedu dilepaskan ke dalam duodenum. Enzim di dalam usus halus memecahkan lemak, protein, dan karbohidrat menjadi unsure – unsur dasar. Nutrisi hampir seluruhnya diabsorbsioleh duodenum dan jejunum. Ileum mengabsorpsi vitamin – vitamin tertentu, zat besi, dan garam empedu. Apabila fungsi ileum terganggu, proses pencernaan akan mengalami perubahan besar. Inflamasi, reseksi bedah, atau obstruksi dapat mengganggu peristaltic, mengurangi area absorpsi, atau menghambat aliran kimus.

5. Usus Besar
Saluran GL bagian bawah disebut usus besar ( kolon ) karena ukuran diameternya lebih besar daripada usus halus. Namun, panjangnya, yakni 1,5 sampai 1,8 m jauh lebih pendek. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rectum. Usus besar merupakan utama dalam eliminasi fekal.

a. Sekum
Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui katup ileosekal. Katup ini merupakan lapisan otot sirkulat yang mencegah regurgitasi dan kembalinya isi kolon ke usus halus.

b. Kolon
Walaupun kimus yang berair memasuki kolon, volume air menurum saat kimus bergerak di sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon asendens, kolon transversal, kolon desenden, kolon sigmoid. Kolon dibangun oleh jaringan otot, yang memungkinkannya menampung dan mengeliminasi produk buangan dalam jumlah besar.
Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan : absorpsi, proteksi, sekresi, dan eliminasi. Sejumlah besar volume air, natrium dan klorida diabsorbsi oleh kolon setiap hari. Pada waktu makanan bergerak melalui kolon, terjadi kontraksi haustral. Kontraksi ini sama dengan kontraksi segmental usus halus, tetapi berlangsung lebih lama sampai 5 menit. Kontraksi membentuk kantung berukuran besar di dinding kolon, menyediakan daerah permukaan yang luas untuk absorpsi.
Sebanyak 2.5 L air dapat diabsorbsi oleh kolon dalam 24 jam. Rata – rata, 55 mEq natrium dan 23 mEq klorida diabsorbsi setiap hari. Jumlah air yang diabsorbsi dari kimus bergantung pada keecepatan pergerakan isi kolon. Kimus dalam kondisi normal bersifat lunak, berbentuk masa. Apapbila kecepatan kontraksi peristaltic berlangsung dengan cepat secara abnormal, waktu untuk absorbs air berkurang sehingga feses akan menjadi encer. Apabila kontraksi peristaltis melambat, air akan terus diabsorpsi sehingga terbentuk masa feses yang keras, mengakibatkan konstipasi.
Kolon melindungi dirinya dengan melepaskan suplai lendir. Lendir dalam kondisi normal berwarna jernih sampai buram dengan konsistensi berserabut. Lendir melumasi kolon, mencegah trauma pada dinding bagian dalamnya. Lubrikasi terutama penting pada ujung distal kolon, tempat isi kolon menjadi lebih kering dan lebih keras. Fungsi sekresi kolon membantu keseimbangan asam – basa. Bikarbonat disekresi untuk mengganti klorida. Sekitar 4 sampai 9 mEq kalium dilepaskan setiap hari oleh usus besar. Perubahan serius pada fungsi kolon, seperti diare, dapat mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit. Akhirnya, kolon mengeleminasikan produk buangan dan gas ( flatus ). Flatus timbul akibat menelan gas, difusi karbohidrat ( seperti yang terjadi pada kibis dan bawang ) menghasilkan gas di dalam usus, yang dapat menstimulasi peristaltic. Orang dewasa dalam kondisi normal menghasilkan 400 sampai 700 ml flaktus setiap hari.
Kontraksi peristaltic yang lambat menggerakkan isi usus ke kolon. Isi usus adalah stimulus utama untuk terjadinya kontraksi. Produk buangan dan gas memberikan tekanan pada dinding kolon. Lapisan otot meregang, menstimulus refleks yang menimbulkan kontraksi. Gerakan peristaltic masa, mendorong makanan yang tidak tercerna menuju rectum. Gerakan ini terjadi hanya tiga sampai empat kali sehari, tidak seperti gelombang peristaltis yang sering timbul di dalam usus halus ( biasanya terdengar selama auskultasi ). Saat gerakan peristaltic masa terjadi, segmen besar kolon berkontraksi akibat respon refleks gastrokolik dan duodenokolik. Gerakan ini terjadi apabila lambung atau duodedum terisi makanan. Pengisian makanan ke dalam lambung atau duodenum ini mencetuskan impuls saraf yang menstimulasi dinding otot kolon. Gerakan peristaltic masa paling kuat terjadi pada jam setelah makan.
c. Rectum
Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid, disebut feses. Sigmoid menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi. Rectum merupakan bagian akhir pada saluran GL. Panjang rectum bervariasi menurut usia :
Bayi 2,5 sampai 3,8 cm
Toddler 5 cm
Prasekolah 7,5 cm
Anak usia sekolah 10 cm
Dewasa 15 sampai 20 cm
Dalam kondisi normal, rectum tidak berisi feses sampai defekasi. Rectum dibangun oleh lipatan – lipatan jaringan vertical dan transversal. Setiap lipatan vertical berisi sebuah arteri dan lebih dari satu vena. Apabila vena menjadi distensi akibat tekanan selama mengedan, maka terbentuk hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses defekasi terasa nyeri. Apabila masa feses atau gas bergerak kedalam rectum untuk membuat dindingnya berdisensi, maka proses defekasi dimulai. Proses ini melibatkan control voluntary dan control involunter. Sfingter interna adalah sebuah otot polos ynag di persarafi oleh system saraf otonom.
Saat sfingter interna relaksasi sfingter eksterna juga relaksasi. Orang dewasa dan anak – anak yang sudah menjalani toilet training ( latihan defekasi ) dapat mengontrol sfingter eksterna secara volunteer ( sadar ). Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan intraabdomen atau melakukan valsava maneuver. Maneuver valsava ialah kontraksi volunter otot – otot abdomen saat indivudu mengeluarkan nafas secara paksa, sementara glottis menutup (menahan napas saat mengedan).

B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI URINASI
Banyak faktor mempengaruhi proses eliminasi fekal. Pengetahuan tentang faktor-faktor ini memungkinkan perawat melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan untuk mempertahankan pola eliminasi normal.




Tabel faktor yang mempengaruhi eliminasi
Faktor yang meningkatkan eliminasi Faktor yang merusak eliminasi
Lingkungan yang bebas stress Stress emosional (ansietas atau depresi)
Kemampuan untuk mengikuti pola defekasi pribadi ,privasi Gagal mencetuskan reflek,kurang waktu atau kurang privasi
Diet tinggi serat Diet tinggi lemak, tinggi karbohidrat
Asupan cairan normal(jus buah,cairan hangat) Asupan cairan berkurang
Olahraga (berjalan) Imobilitas
Kemampuan untuk mengambil posisi jongkok Tidak mampu jongkok akibat imobilitas, usia lanjut,deformitas musculoskeletal,nyeri dan nyeri selama defekasi
Diberikan laksatif dan katartik secara tepat Penggunaan analgesic narkotik, antibiotic, dan anestesis umum, serta penggunaan katartik yang berlebihan

Faktor eliminasi fekal:
1. Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi status eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya perkembangan neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengkonsumsi makana dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proseas penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim limpase.

2. Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses. Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak. Makanan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa).
i. Buah-buahan mentah (apel,jeruk)
ii. Buah-buahan yang diolah (prum,apricot)
iii. Sayur-sayuran (bayam,kangkung,kubis)
iv. Sayur-sayuran mentah (seledri,mentimun)
v. Gandum utuh (sereal, roti)
Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi , meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic , tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi encer.
Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makana tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dank ram.



3. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.

4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal
Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.

5. Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis. Namu, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (cooke,1991)

6. Kebiasaan pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.

7. Posisi Selama Defekasi

Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak ke arah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti artritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk tpilet memampukan klienuntuk bangun dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan alat tersebut dan individu yang berposter pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekluk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan defekasi.

8. Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien seringkali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.

9. Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan fectus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamilselama defekasi dapat menyebabkan terbentukannya hemoroid yang permanen.

10. Pembedahan dan Anestesia
Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikitt atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut.

11. Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia . laksatif dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic. Waupun sama, kerja laksatif lebih ringan dari pada katartik. Apabila digunakan dengan benar , laktasif dan katartik mempertahankan pola eliminasi normal dengan aman. Namun, penggunaan katartik dalam jangka waktu lama menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulasi yang diberikan oleh laksatif . penggunaan laksatif yang berlebihan juga dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral, sebuah laksatif umum, menurunkan absorpsi vitamin yang larut dalam lemak. Laksatif dapat mempengaruhi kemajuan kerja obat lain dengan mengubah waktu transit(missal waktu obat berada di saluran GI).
Obat-obatan seperti disiklomin HCL (Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya menyebabkan konstipasi. Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau glikopirolat (robinul), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi, banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora bakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait dengan diare semakin parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan dapat digunakan untuk diare osmotic, yang disebabkan oleh obat-obatan hiperosmolar telah diuraikan oleh Fruto(1994)

12. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi dibagian usus. Klien tidak diizinkan untuk makan atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian pemereksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya meneri,ma katartik dan enema. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.



C. MASALAH DEFEKASI YANG UMUM
Perawat mungkin merawat klien yang mengalami atau beresiko mengalami masalah eliminasi akibat stress emosional ( ansietas atau depresi ), berubahan fisiologis pada saluran GI, perubahan truktur usus melalui pembedahan, program terapi lain, atau gangguan yang mengganggu defekasi.

1. Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
Penyebabnya :
a. Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah tempat, dan lain-lain
b. Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak ada gigi, makanan lemak dan cairan kurang
c. Meningkatnya stress psikologik
d. Kurang olahraga / aktifitas : berbaring lama.
e. Obat-obatan: kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan obat pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang sehingga refleks BAB hilang.
f. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun sehingga menimbulkan konstipasi.
g. Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor.

2. Impaction
Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah, bingung, tidak sadar, konstipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan konstipasi. Tandanya : tidak BAB, anoreksia, kembung/kram dan nyeri rektum.

3. Diare
Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.

4. Inkontinensia fecal
Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.

5. Flatulens
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol.

6. Hemoroid
Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

D. DIVERSI USUS
Penyakit tertentu menyebebkan kondisi-kondisi yang mencegah pengeluaran feses secara normal dari rectum. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu lubang (stoma) buatan yang permanen atau sementara. Lubang uyang dibuat melalui upaya bedah(ostomi ) paling sering di bentuk di Ileum (ileostomi) atau di kolom (kolostomi)(Mc. Garity,1992). Ujung usus kemudian ditarik kesebuah lubang di dinding abdomen untuk membentuk stoma.
Ada dua jenis ostomi yaitu:
1. Ostomi Kontinen : klien memiliki control terhadap pengeluaran feses.
Dimana dalam ostomi kontingen tipe pembedahan tertentu memungkinkan kontinensia pada klien tertentu yang mengalami kolektomi (pengangkatan kolon). Ostomi Kontinen ini juga disebut Disversi kontinen atau reservoir kontinen. Pada sebuah prosedur yang disebut dengan ileoanal pull-through, kolon diangkat dan ileum dianastomosis atau disambungkan ke sfingter anus yang utuh.
Di beberapa prosedur bedah terbaru yang didasarkan pada upaya ileoanal pull-through adalah reservoar ileoanal .Reservoar ileoanal juga disebut protokolektomi restorasi, anastomosis kantong ileum anus, atau kantong pelvis. Pada prosedur ini klien tak memiliki stoma eksterna yang permanen dan dengan demikian tidak perlu mengenakan kantong ostomi.klien mengenakan kantung interna yang berasal dari ileumnya.
Kantong ileum ini dapat di bentuk dalam berbagai bentuk seperti bentuk lateral, S,J,atau W. Ujung kantong kemudian dijahit atau di anastomosis ke anus.pembedahan dilakukan dalam berbagai tahapandan klien dapat mempunyai ostomi yang bersifat sementara sampai kantung ileum yang dibentuk melalui upaya bedah telah sembuh.

2. Ostomi Inkintingen: klien tidak mempunyai control terhadap pengeluaran Feses.
Pada hal ini lokasi ostomi menentukan kosistensi feses. Sebuah ileostomi merupakan jalan pintas keluarnya feses sehingga feses tidak melalui seluruh bagian usus besar. Akibatnya feses akan keluar lebih sering dan dalam bentuk cair. Kejadian serupa juga terjadi pada kolostomi di kolon asenden. Kolostomi pada kolon transversal umumnya akan menghasilkan feses yang lebih padat dan berbentuk, sedangkan kolostomi sigmoid menghasilkan feses yang sudah mendekati feses normal. Dalam hal ini kolostm dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Loop Colostomy
Loop colostomy biasanya di lakukan dalam kondisi kedaruratan medis yang nantinya colostomy tersebut akan ditutup. Jenis colostomy ini biasanya mempunyai stoma yang berukuran besar, dibentuk di kolon transversal dan sifatnya sementara.
b. End Colostomy
End Coostomy terdiri dari satu stoma, yang dibentuk dari ujung proksimal usus dengan bagian distal saluran GI dapat dibuang atau dijahit tertutup (disebut kantong Hartmann) dan dibiarkan di dalam rongga abdomen.
c. Double Barrel colostomy
Tidak seperti loop colostomy , usus dipotong melalui pembedahan kedalam bentuk double barrel colostomy dan kedua ujungnya ditarik keatas abdomen . Double-barrel colostomy terdiri dari dua stoma yang berbeda yaitu stoma proksimal yang berfungsi dan stoma distal yang tak berfungsi.

Pertimbangan Psikologi
Sebuah ostomi dapat menimbulkan perubahan citra tubuh yang serius, terutama apabila ostomi tersebut bersifst permanen. Klien yang memiliki riwayat penyakit usus kronik dalam jangka waktu yang lama seperti penyakit Crohn atau Kolitis ulseratif telah meningkatkan kualitas hidupnya, tetapi memiliki citra tubuh yang lebih rendah. Sebaliknya, Klien yang membutuhkan ostomi akibat kanker memiliki citra tubuh yang lebih tinggi, tetapi kualitas hidupnya berkurang.
Klien sering mempersepsikan stoma sebagai bentuk pemotongan/perusakan. Walaupun pakaian menutupi ostomi, klien merasa berbeda. Banyak klien memiliki kesulitan untuk mempertahankan/memulai hubungan seksual yang normal. Faktor penting yang mempengaruhi reaksi klien adalah karakter sekresi feses dan kemampuan untuk mengontrolnya. Bau busuk kebocoran atau tumpahan feses tang encer dan ketidakmempuan mengatur defekasi membuat klien kehilangan harga dirinya.

E. PROSES KEPERAWATAN DAN ELIMINASI FEKAL
1. Pengkajian
a. Frekwensi buang air besar pada bayi sebanyak 4 – 6 kali sehari , sedangkan orang dewasa adalah 2 – 3 kali per hari dengan jumlah rata-rata pembuangan per hari adalah 150 gr

b. Keadaan feses :
• warna hitam atau merah
• berbau tidak sedap
• konsistensi cair
• bentuk kecil seperti pensil
• terdapat darah

2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan:
• defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas akibat cedera akibat medulla spinalis, dan CVA
• nyeri akibat hemoroid
• menurunya peristaltic akibat stress
b. Diare berhubungan dengan:
• melabsorpsi atau inflamasi akibat penyakit infeksi atau gastritis, kulkus, dll
• peningkatan peristaltic akibat peningkatan metabolism
• stress psikololgis
c. Inkontinensia usus berhubungan dengan:
• gangguan sfingter rectal akibat cedera rectum atau tindakan pembedahan
• distensi rectum akiibat konstipasi kronis
• ketidak mampuan mengenal atau merespon proses defekasi akibat depresi atau kerusakan kognitif
d. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan:
• pengluaran cairan yang berlebihan (diare)



3. Perencanaan
Tujuan :
• Mempertahankan asupan makanan dan minuman cukup
• Mempertahankan kebiasaan defikasi secara teratur
• Mempertahankan defikasi secara normal
• Mencegah gangguan integritas kulit
Rencana tindakan :
1. Kaji perubahan faktor yang mempengaruhi masalah eliminasi
2. Kurangi faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah seperti konstipasi akibat nyeri dan inkontenensia usus
3. Jeleskan mengenai eliminasi yang normal kepada pasien
4. Bantu defikasi secara manual
5. Bantu latihan buang air besar
6. Pertahankan asupan makanan dan minuman

4. Pelaksanaan
1. Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan
2. Menolong buang air besar dengan menggunakan pispot
3. Memberikan gliserin untuk merangsang peristaltic usus sehingga pasien dapat buang air besar
4. Mengeluarkan feses dengan jari
5. Kolaborasi dengan ahli gizi

5. Evaluasi
Evaluasi terhadap kebutuhan eliminasi dapat dinilai dengan adanya kemampuan dalam :
1. Memahami cara eliminasi yang normal
2. Mempertahankan defektasi secara normal yang ditunjukan dengan kemampuan pasien dalam mengontrol defektasi tanpa bantuan obat atau enema , berpartisipasi dalam program latihan secara teratur , defikasi tanpa mengedan
3. Mempertahankan rasa nyaman yang ditunjukan dengan kenyamanan dalam kemampuan defikasi , tidak terjadi bleeding , tidak terjadi inflamasi dan lain-lain
4. Mempertahankan integritas kulit yang ditunjukan dengan keringnya area perianal , tidak ada inflamasi atau ekskoriasi , keringnya kulit sekitar stoma dan lain-lain
5. Melakukan latihan secara teratur , seperti rentang gerak atau aktifitas lain (jalan , berdiri , dll)
6. Mempertahankan asupan makanan dan minuman yang cukup dapat ditunjukan dengan adanya kemampuan dalam merencanakan pola makan , seperti makan dengan tinggi atau rendah serat (tergantung dari tendensi diare / konstipasi serta mampu minum 2000 – 3000 ml)









BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa bowel (feses). Faktor yang mempengaruhi eleminasi fecal yaitu, usia, diet, asupan Cairan, aktivitas Fisik, faktor Psikologis, kebiasaan pribadi, Posisi Selama Defekasi, Nyeri, Kehamilan, Pembedahan dan Anestesia, Obat-obatan, Pemeriksaan Diagnostik. Dengan kita mengetahui faktor-faktor tersebut akan mempermudah saat kita melakukan asuhan keperawatan.
























Daftar Pustaka

Alimul Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan

Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC

Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC

http://www.proses_pencernaan_makanan.html

http://www.siklus_alami_tubuh_dalam_proses_pencernaan_makanan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar